Seperti sebuah debu yang
terbawa oleh hembusan angin senja. Daun yang menari riang bersama hempasan
angin. Terbang, melayang, jauh, tinggi, tak tahu arah yang pasti. Tanjakan,
tikungan dan semua yang dilewati, cukup menghalangi jalan kemana ia hendak
pergi. Namun sepertinya itu semua tak cukup untuk menghentikan langkahnya.
Hari demi hanya yang
berlalu, terus menerus diisi dengan untaian-untaian harapan dan doa. Butir
butir impian yang ia citakan, semuanya tesurat dalam sebuah lembaran putih yang
selalu ia kotori dengan tinta pena. Namun ia berfikir, bahwa semua itu bak
mutiara yang tertanam dalam di dasar palung samudera, dan tak akan ada satupun
manusia yang dapat melihatnya.
Ia hanyalah seorang gadis
kecil dengan sejuta mimpi yang ia tak yakin dapat meraihnya. Gadis mungil yang
hanya bisa menulis apa yang ada dalam kepalanya tanpa pernah megeluarkannya
dengan ucapan. Ia tahu, jika ia mengekspresikan semua mimpinya dengan ucapan,
hanya akan menjadi topik tertawaan manusia disekitar. Lalu apakah ia akan
selamanya menyimpan semua buah pikirnya pada secarik kertas itu???
Jam berdering menunjukan
pergantian hari menuju satu hari lebih banyak dari hari kemarin. Tentu saja ia langsung terbangun dan
bergegas melaksanakan kewajibannya. Satu
per empat jam digunakannya untuk bersiap-siap untuk kemudian melangkahkan kaki sedikit mendekati
hari dimana ia bisa menggapai secarik kertasnya.
Ia melangkah dengan gagah
tanpa gelisah. Berjalan menyusuri lorong-lorong dengan sejuta mimpi
dipundaknya. Puluhan tikungan ia lewati, ratusan tanjakan ia lampaui, hingga akhirnya sampailah ia pada sebuah
tempat dimana ia akan mengukir sedikit demi sedikit secarik kertasnya. Memulai
semua dengan perlahan dan penuh hati-hati. Tak pernah memperdulikan apapun yang
keluar dari mulut manusia disekelilingnya. Walau berjuta cacian terlontar dari
mulut-mulut orang sekitar, hinaan dan cercaan pun tak luput menghadang. Ia tak
pernah mengeluh dengan semua hal yang terjadi. Suatu ketika ia melihat seorang
wanita tua renta yang bertumpu pada sebuah tongkat penopang kehidupannya. Dalam
otak kecilnya bertanya-tanya, apakah wanita tua tadi tidak mempunyai seseorang
yang dapat menemaninya? Setidaknya agar dia bisa merasakan mudahnya berjalan
tanpa harus bertumpu pada sebatang kayu yang bisa disebut dengan kayu penopang
kehidupan.
ia sadar, bahwa hidupnya
hampir sama dengan sebuah sebuah tongkat penopang itu. Menjadi tumpuan sebuah
hal yang sangat berharga, bahkan tak tenilai harganya. Sekali saja ia melewati
jalan yang salah, atau bahkan hanya sekedar tersandung bongkahan batu kecil
yang menyebabkan terjatuh, maka hal berharga yang tertopang pun akan ikut
terjatuh. Yang ia fikirkan adalah, bagaimana caranya ia dapat memilih jalan
yang tidak akan membuatnya terjatuh, agar ia dapat dengan mudah menopang hal
berharga itu.
Ia sadar, bahwa ia tidak
mungkin melewati jalan seperti yang ia fikirkan, karena ia tahu bahwa untuk
mencapai sebuah mimpi dan harapan itu tidak mungkin hanya melewati jalan yang
mulus. Ia harus melewati jurang yang terjal, tanjakan yang curam dan berbagai
hal yang dapat membuatnya terjatuh. Namun itulah seni kehidupan.
Always be yourself, think big, and act now!!! Believe and do it.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar