Senin, 22 Januari 2018

Cerpen

Masih Dalam Dilema yang Sama
Gemerincing air hujan membangunkanku dikala fajar masih bersembunyi. Segera ku beranjak dari persembunyianku dan bergegas melakukan aktifitas. Sepatu usang dan seragam lusuh tak pernah lelah menemani perjuanganku, kedua kaki ini sudah tak tak sabar untuk melangkah memulai hari. Namaku Resta. Aku, seorang gadis cilik sederhana dengan segala kekurangan yang berusaha aku hilangkan.
Hari ini Cika yang berbaik hati membantu perjuanganku menuju ke ladang ilmu.  Ya.. beginilah kehidupanku, butuh perjuangan sedikit lebih banyak dari yang lain. Merasa tidak enak? Mungkin itu sudah menjadi makananku sehari-hari. Tak jarang pun hanya bisa menerima belas kasih orang lain. Ocehan-ocehan yang keluar dari bibir manusia jelas banyak. Tapi tidak!, aku tidak boleh memikirkannya. Aku yakin, dibalik semua ini pasti ada hal yang akan aku dapat. Sesuatu yang jauh lebih besar dari perjuanganku. Dari keyakinan itulah, aku bisa lebih percaya diri melewati semua rintangan hidup ini.
Hari demi hari aku lewati dengan segala duri-duri penghalangnya. Bukan hal yang mudah, namun tidak terlalu berat karena banyak orang-orang baik di sekitarku. 
Semua berawal dari motivasi seseorang yang menjadi panutanku. Seorang guru yang tidak hanya mengajarkan caranya membaca dan berhitung. Tapi senantiasa memberi beribu masukan dan peluang, bibirnya tak pernah lelah mengucapkan motivasi-motivasi yang sangatttt sangat bermanfaat. Dari situlah aku merasa tergugah untuk semangat merajut asa. Aku memiliki tekad yang kuat untuk menggapai semua angan dan impianku.
Saat Ujian Nasional pun tiba, aku berusaha dengan segala kemampuanku dan mengerjakan ujian dengan sunggh-sungguh. Dan akhirnya aku berhasil memetik apa yang aku tanam, sungguh rasa lega dan bangga menyelimuti diriku. Tak henti-hentinya aku bersyukur atas semua yang aku dapatkan. Tapi ternyata rasa lega itu tak lama bersamaku, aku kembali bimbang dengan jalan apa yang harus aku tempuh selanjutnya. Apakah aku harus berhenti bersekolah dan bekerja membantu keekonomian keluargaku? atau aku harus tetap sekolah menggapai impianku? Aku sadar bahwa diriku bukan berasal dari keluarga yang berada, yang membuatku berfikir puluhan  kali untuk melanjutkan sekolah.
Ketika keruwetan itu menghantui pikiranku, seseorang datang seolah meluruskan segalanya, memberi kecerahan dan menunjukan jalan bagiku. Beliau bagaikan malaikat utusan sang Ilahi yang datang dengan kabar gembira bersama kunci yang mengeluarkanku dari kerumitan ini. Beliau adalah Pak Ali, seorang guru panutanku yang telah mengetahui seluk beluku, dan hampir semua tentangku . “Resta, bapak dengar nilai UN’mu memuaskan?” tanya Pak Ali. “Iya alhamdulillah pak, berkat bantuan pak Ali juga pastinya” jawabku. “Rencana mau lanjut kemana?”, “Ya nggatau besok pak, ngikutin arus aja deh”,  “Lho kok ngga tau? Memangnya kamu ingin lanjut dimana? Bukannya kemarin kamu masuk yang beasiswa di SMAN 102 ya?” tanya pak Ali lagi. “Iya sih pak, tapi aku ngga minat di SMA jadi ngga tak ambil. Penginnya ambil Admisnistrasi Perkantoran pak yang sesuai sama basic saya” sahutku. “Ohh... AP di SMK Bulan Sabit itu bagus”, “Ya.. penginnya sih disitu pak, tapi masih dipertimbangkan juga, disana lumayan sii fulusnya, hehe”, “Kalo kamu mau sebenarnya bapak ada channel full beasiswa, tapi itu tidak ada kaitannya dengan AP yang tadi kamu mau, juga itu sekolah SMA swasta. Kalo kamu minat bapak bisa bantu” terang pak Ali. “Emmm... kalo tertarik ya pasti pak, ngga masalah kok negeri ataupun swasta. Kalo memang jalan saya disitu ya saya jalani. Tapi harus ngomong ke orang tua dulu pastinya pak.” jawabku. “Iya sudah kamu bicarakan dulu saja ke orang tuamu, nanti kalo orang tuamu setuju kamu telfon bapak saja biar secepatnya diurus” jelas pak Ali.
Aku pun segera pulang karena ingin segera membicarakannya dengan orang tuaku. Sesampainya di rumah, aku segera mengutarakannya. “Mah, aku ditawarin beasiswa dari pak Ali, tapi di swasta. Menurut mamah gimana?” tanyaku “Kalo mamah si setuju-setuju aja asal kamu mau ya mamah dukung. Kamu sudah besar, jadi kamu sudah bisa menentukan jalan yang terbaik buat dirimu. Mamah sama papah dukung semua pilihanmu asalkan itu benar.” Jelas mamahku.
Mendengar jawaban seperti itu, aku segera menelfon pak Ali untuk konfirmasi kesetujuanku. Kriingggg.... “Halo Assalamu’alaikum” “Wa’alaikumsalam pak, ini saya Resta.” “Oh iya ta, gimana? Sudah bicara dengan orangtuamu.?” “Sudah pak, iya saya mau ambil beasiswanya.” “Oh iya ta, tapi itu SMA swasta ya..” “Iya pak, nggapapa daripada ngga sekolah, hehe” “Yasudah kalo begitu nanti bapak konfirmasi ke pihak sekolahnya.” “Iya pak Terimakasih..”
Selang beberapa jam setelah aku mengkonfirmasi ketersediaanku, handphoneku berdering, “Halo Assalamu’alaikum” kataku. “Wa’alaikumsalam ta, ini bapak sudah konfirmasi ke pihak sekolahnya dan dari pihak SMA sudah setuju. Nanti kamu dapet full beasiswa mulai dari buku sampai seragam dari kelas 1-3 juga dapat biaya untuk asrama,” jelas pak Ali. “Oh iya terimakasih banyak ya pak..” sahutku. “Iya ta, sama-sama. Besok pagi kamu ke SMA Pratiwi sama ibumu ya.. untuk tanda tangan surat perjanjian” “Siap pak, yang harus dibawa apa saja ya?” tanyaku. “Tidak usah bawa apa-apa, semua data sudah diambil dari datamu di SMP” “Iya pak terimakasih banyak” jawabku.
Beberapa menit kemudian aku kembali menerima telfon dari pak Ali. “Halo Assalamu’alaikum,” “Wa’alaikumsalam ta, ini ada tawaran beasiswa dari SMK, tapi SMK baru.. katanya kamu ingin di SMK.”... Pak Ali menjelaskan bergitu banyak hal tentang SMK tersebut. Dan akhirnya aku lebih memilih SMK daripada SMA. Tentunya dengan pertimbangan kedua orangtuaku juga.
Aku merasa lega bisa mengurangi beban kedua orangtuaku. Walau tak seberapa, tapi aku yakin mereka sangat bahagia. Darisini aku belajar bahwa ada banyak jalan untuk meraih mimpi. Jalan itu tidak selalu sesuai dengan yang kamu inginkan, dan tidak semulus yang kamu bayangkan. Tapi bukan menolak yang harus kamu lakukan, tetap ikuti saja jalan itu dengan penuh keyakinan bahwa jalan yang kamu lewati ini adalah jalan yang terbaik.
Hari ini, tiba saat penandatangan perjanjian. Aku ditemani ibuku mendatangi SMK Kusuma sesuai dengan janji yang sudah dibuat sebelumnya. Sesampainya disana sudah ada Pak Ali dan kepala sekolah SMK Kusuma yang menyambut. Kami membicarakan banyak hal selama satu jam sampai akhirnya penandatanganan perjanjian. Setelah selesai, pak Ali berkata kepadaku, “Resta, bapak yakin kamu bisa menjaga nama baik keluarga dan nama baik bapak di sekolah ini. Bapak minta kamu benar-benar serius supaya nanti kamu sukses, bapak juga ikut senang. Dan bapak pesan, kamu jangan mikirin tentang lelaki dulu ya..” “Iya pak, InshaAllah Resta inget pesan bapak” sahutku. Kemudian aku bergegas untuk pulang.
Selang beberapa minggu, tiba saatnya aku menimba ilmu di SMK Kusuma. Aku mencoba melakukan yang terbaik setiap harinya. Dan aku mencoba untuk tidak menyukai satu pun lelaki dengan alasan tidak ingin ada yang mengganggu tujuanku. Aku berhasil melakukannya, tapi tidak lama, hanya sekitar 6 bulan saja. Akhir semester pertama, seseorang berhasil merobohkan dinding pembatasku. Dia adalah Rifa, teman sekelasku.
Sungguh, aku merasa sangat bimbang, bingung, gundah, resah, bercampur menjadi satu. Aku telah gagal. Aku telah melanggar 1 nasehat panutanku. Aku memang menjalani hari-hariku bersama Rifa. Tapi dalam hatiku selalu diselimuti rasa bersalah. Dan aku tidak pernah bisa mengutarakan isi hatiku yang sebenarnya, bahkan tulisan pun tak dapat mewakilinya. Aku tidak mengerti kenapa dia tidak bisa memahami keadaanku, saat aku berkata “Aku tidak bisa melanjutkannya, aku sudah melewati batas”, dia tak menjawab hanya diam seribu bahasa. Aku tau itu menyakitkan, tapi tolong pahami lah posisiku. Ah sudahlah, itu sudah berlalu. Toh aku tidak bisa menjelaskan semuanya saat itu. Dan karena itu lah aku melakukannya berulang kali. Bukan karena aku tidak menginginkan kehadiran Rifa, bukan pula karena aku ingin bersama orang lain. Melainkan karena aku terus terjebak dengan rasa bersalah pada hal yang sama. Aku tidak mengerti kenapa dia tetap tidak bisa memahami posisiku dan terus menyalahkanku. Aku tidak paham dengan pola pikirnya. Dan dia juga tidak pernah menjelaskan apa pun yang membuatku bisa memahami pola pikirnya.
Sampai akhirnya ketika kami berada pada jarak yang cukup jauh, aku mendengar kabar bahwa dia bersama orang lain. “Resta, aku mau nunjukin sesuautu ke kamu, tapi kamu jangan sedih ya..” ucap vero kepadaku. “Memangnya apa ingin kamu tunjukan?”jawabku. Vero pun menunjukan screenshoot chattingnya dengan wanita baru Rifa yang aku dengar namanya Sila.  Dia juga menunjukan foto-foto kebersamaan mereka. Terbayangkah bagaimana perasaanku saat itu? Mungkin kalian pikir aku langsung percaya begitu saja dengan orang asing? Tidak! Aku masih tidak mempercayai Rifa, karena aku benar-benar percaya bahwa dia tidak akan tega melakukan hal seperti itu kepadaku. Aku pun melanjutkan hariku tanpa peduli dengan ucapan Vero. Tapi lama-kelamaan aku merasa sikap Rifa berubah kepadaku, yang membuatku mulai curiga dan menghubungkan antara sikapnya dengan perkataan Vero yang  membuatku memberanikan diri untuk langsung menanyakannya. “Sayang? Siapa Sila?” tanyaku  “Teman baruku disini, kenapa?” jawab Rifa. “Apa kau punya hubungan spesial dengannya? Ada orang yang memberitahuku” “Apa urusanmu? Bukankah kamu sendiri yang meminta kita untuk tidak lagi bersama? Lalu kenapa kau menanyakan hal seperti itu?” tegas Rifa.  “Tapi aku tidak pernah meminta kita untuk tidak bersama, kenapa kamu berkata seperti itu?” “Amnesia ya?” “Tidak, aku sehat dan mengingat semuanya. Sekali lagi aku tanya, apa kau punya hubungan spesial dengannya?”tanyaku kembali “Iya, aku sayang Sila, aku cinta Sila”sahut Rifa.
 Tahukah apa yang aku rasakan saat itu? Bayangkan saja, orang yang sangat kamu percayai tiba-tiba mengatakan hal seperti itu. Apa yang bisa aku lakukan selain menahannya? Menghiraukan semua ego-ku dan berusaha agar dia tidak benar-benar pergi. Tapi apa yang terjadi? Sepertinya usahaku sia-sia. Masih teringat dengan jelas saat dia mengatakan “Aku tidak akan bisa sukses jika terus bersamamu”.
Yaaa,, untuk kali ini jangan bertanya bagaimana perasaanku, bayangkan saja saat kekasihmu mengatakan hal seperti itu kepadamu. Sejujurnya ketahuilah bahwa aku masih pada dilema yang sama. Aku sebenarnya tidak menginginkan dia untuk benar-benar pergi, aku hanya ingin keluar dari dilema ku ini. Tapi mungkin caraku saja yang salah, mungkin aku yang terlalu egois.  Ingin keluar dari dilemaku, tapi tidak bisa melepasnya untuk pergi. Ya.. aku bisa memahami posisinya, dan aku tau aku telah menyakitinya. Jadi wajar saja kalau dia memilih bersama orang lain. Ups. Tidak! Aku rasa lebih tepatnya dia hanya mencari pelampiasan atas rasa sakitnya itu.
Iyaa, iyaa aku paham. Tapi apa dia memikirkan perasaanku? Mungkin kalian berfikir aku telah melukainya, telah melepasnya, sehingga dia bebas melakukan apa saja. Tapi ketahuilah, ketika aku mendengarnya bersama orang lain hati ini bagaikan.....  tidak tidak, aku tidak bisa menggambarkan perasaanku saat itu. Sungguh aku merasa semakin terpuruk. Aku semakin bingung tentang hal apa yang harus aku lakukan. Tangisanku pun tidak berhasil mengobati sedikitpun luka yang aku rasakan. Aku pasrah, dan melewati beberapa hariku bersama luka.
Saat dia kembali, lagi-lagi aku tidak bisa menahan dinding pembatasku. Lagi-lagi aku melanggar nasehat panutanku. Dan kembali pada rasa bersalah yang sama. Kembali menjalani hari-hariku bersamanya.
Tidak terasa semuanya telah berjalan lebih dari 2 tahun. Dan aku yang mengabaikan rasa bersalahku hanya demi bisa bersamanya, sebenarnya masih dalam dilema yang sama. Hanya saja aku menutupi semuanya, dan seolah-olah aku tidak apa-apa. Aku mau menerima semuanya, suka dan duka semuanya aku terima. Walau terkadang aku sering marah, mengeluh, atau bahkan menangis. Sungguh aku bukan manusia yang sempurna. Aku juga memiliki rasa lelah, apalagi jika berkali-kali merasakan luka yang sama.
Ibarat bekas luka tembak yang setengah sembuh, namun tertembak lagi, dan begitu berulang-ulang. Apakah sebanding dengan satu kali tembakan yang sedikit lebih sakit dari sebelumnya? Mungkin jawabannya akan berbeda, karena sudut pandang masing-masing orang juga berbeda.
Ketika kami berpisah tempat untuk waktu yang singkat, aku kecewa dia tidak memberiku kabar. Bahkan tidak walau hanya sekedar menyapa “hai”. Tunggu sebentar, aku rasa sudah dari sebelum kami berpisah tempat. Yaa, jauh sebelumnya. Aku tau aku pernah memberinya luka yang sangat dalam, tapi sedalam itu kah sampai dia mengabaikanku dan memilih bersama orang lain? Siapa dia? Yaa... dia bilang dia temanya. Aku percaya dia temannya, dia juga temanku. Tapi tetap saja, itu membuatku terluka. Iya aku paham dia telah menjelaskan semuanya, mungkin aku yang salah. Aku yang berfikir terlalu jauh. Mungkin hanya salah faham. Atau mungkin, aku tidak mengerti bagaimana ada di posisimu. Tapi sayangnya semua itu hanya sekedar kemungkinan. Entah apa yang sebenarnya terjadi.
Dan sayangnya, ada orang lain yang meminta bersamaku saat Rifa mengabaikanku. Apa yang bisa aku lakukan? Ibarat seseorang sedang menangis tersedu-sedu kemudian datang orang lain memberi tisu dan berusaha untuk menghibur, apakah aku harus mengusirnya? Apa aku salah jika tetap membiarkannya? Apakah ini membuat Rifa merasa tersakiti? Apa pantas jika Rifa menyalahkanku? Baiklah, mungkin aku memang salah,  mungkin seharusnya aku mengusirnya. Tapi sungguh aku merasa Rifa tidak lagi peduli denganku saat itu, dan di sisi lain ada seseorang yang ingin bersamaku. Aku tau dia temanya, dan maaf aku tidak bisa mengusirnya saat itu.
Apa itu termasuk luka yang sangat dalam? Maaf, aku pun tidak akan melakukannya jika saat itu Rifa mempedulikanku. Dan sekarang? Setelah aku sudah masa bodoh dengan Rifa, dia datang dan memintaku untuk kembali. Bagaimana? “Aku bukan taman hiburan sayang, kamu tidak bisa seenaknya datang dan pergi.”
Tapi lagi-lagi Rifa berhasil merobohkan dinding pertahananku, 2 tahun kenangan kami menghancurkan semua logikaku, membuatku berbelok dan berfikir dari sudut pandang yang berbeda. Menerimanya kembali dan mengabaikan semua yang pernah terjadi, memulainya dari awal dan mengubur semua luka yang pernah ada. Tapi sayang, ketahuilah bahwa aku masih dalam dilema yang sama..

.End.

By Yana Damayanti




Tidak ada komentar:

Posting Komentar