Masih Dalam Dilema yang Sama
Gemerincing air hujan membangunkanku dikala fajar masih
bersembunyi. Segera ku beranjak dari persembunyianku dan bergegas melakukan
aktifitas. Sepatu usang dan seragam lusuh tak pernah lelah menemani perjuanganku,
kedua kaki ini sudah tak tak sabar untuk melangkah memulai hari. Namaku Resta.
Aku, seorang gadis cilik sederhana dengan segala kekurangan yang berusaha aku
hilangkan.
Hari ini Cika yang berbaik hati membantu perjuanganku menuju ke
ladang ilmu. Ya.. beginilah kehidupanku,
butuh perjuangan sedikit lebih banyak dari yang lain. Merasa tidak enak? Mungkin
itu sudah menjadi makananku sehari-hari. Tak jarang pun hanya bisa menerima
belas kasih orang lain. Ocehan-ocehan yang keluar dari bibir manusia jelas banyak.
Tapi tidak!, aku tidak boleh memikirkannya. Aku yakin, dibalik semua ini pasti
ada hal yang akan aku dapat. Sesuatu yang jauh lebih besar dari perjuanganku.
Dari keyakinan itulah, aku bisa lebih percaya diri melewati semua rintangan
hidup ini.
Hari demi hari aku lewati dengan segala duri-duri penghalangnya.
Bukan hal yang mudah, namun tidak terlalu berat karena banyak orang-orang baik
di sekitarku.
Semua berawal dari motivasi seseorang yang menjadi panutanku.
Seorang guru yang tidak hanya mengajarkan caranya membaca dan berhitung. Tapi
senantiasa memberi beribu masukan dan peluang, bibirnya tak pernah lelah
mengucapkan motivasi-motivasi yang sangatttt sangat bermanfaat. Dari situlah
aku merasa tergugah untuk semangat merajut asa. Aku memiliki tekad yang kuat
untuk menggapai semua angan dan impianku.
Saat Ujian Nasional pun tiba, aku berusaha dengan segala
kemampuanku dan mengerjakan ujian dengan sunggh-sungguh. Dan akhirnya aku berhasil
memetik apa yang aku tanam, sungguh rasa lega dan bangga menyelimuti diriku.
Tak henti-hentinya aku bersyukur atas semua yang aku dapatkan. Tapi ternyata
rasa lega itu tak lama bersamaku, aku kembali bimbang dengan jalan apa yang
harus aku tempuh selanjutnya. Apakah aku harus berhenti bersekolah dan bekerja
membantu keekonomian keluargaku? atau aku harus tetap sekolah menggapai
impianku? Aku sadar bahwa diriku bukan berasal dari keluarga yang berada, yang
membuatku berfikir puluhan kali untuk
melanjutkan sekolah.
Ketika keruwetan itu menghantui pikiranku, seseorang datang seolah
meluruskan segalanya, memberi kecerahan dan menunjukan jalan bagiku. Beliau
bagaikan malaikat utusan sang Ilahi yang datang dengan kabar gembira bersama
kunci yang mengeluarkanku dari kerumitan ini. Beliau adalah Pak Ali, seorang
guru panutanku yang telah mengetahui seluk beluku, dan hampir semua tentangku .
“Resta, bapak dengar nilai UN’mu memuaskan?” tanya Pak Ali. “Iya alhamdulillah
pak, berkat bantuan pak Ali juga pastinya” jawabku. “Rencana mau lanjut
kemana?”, “Ya nggatau besok pak, ngikutin arus aja deh”, “Lho kok ngga tau? Memangnya kamu ingin
lanjut dimana? Bukannya kemarin kamu masuk yang beasiswa di SMAN 102 ya?” tanya
pak Ali lagi. “Iya sih pak, tapi aku ngga minat di SMA jadi ngga tak ambil.
Penginnya ambil Admisnistrasi Perkantoran pak yang sesuai sama basic saya”
sahutku. “Ohh... AP di SMK Bulan Sabit itu bagus”, “Ya.. penginnya sih disitu
pak, tapi masih dipertimbangkan juga, disana lumayan sii fulusnya, hehe”, “Kalo
kamu mau sebenarnya bapak ada channel full beasiswa, tapi itu tidak ada
kaitannya dengan AP yang tadi kamu mau, juga itu sekolah SMA swasta. Kalo kamu
minat bapak bisa bantu” terang pak Ali. “Emmm... kalo tertarik ya pasti pak,
ngga masalah kok negeri ataupun swasta. Kalo memang jalan saya disitu ya saya
jalani. Tapi harus ngomong ke orang tua dulu pastinya pak.” jawabku. “Iya sudah
kamu bicarakan dulu saja ke orang tuamu, nanti kalo orang tuamu setuju kamu
telfon bapak saja biar secepatnya diurus” jelas pak Ali.
Aku pun segera pulang karena ingin segera membicarakannya dengan
orang tuaku. Sesampainya di rumah, aku segera mengutarakannya. “Mah, aku
ditawarin beasiswa dari pak Ali, tapi di swasta. Menurut mamah gimana?” tanyaku
“Kalo mamah si setuju-setuju aja asal kamu mau ya mamah dukung. Kamu sudah
besar, jadi kamu sudah bisa menentukan jalan yang terbaik buat dirimu. Mamah
sama papah dukung semua pilihanmu asalkan itu benar.” Jelas mamahku.
Mendengar jawaban seperti itu, aku segera menelfon pak Ali untuk
konfirmasi kesetujuanku. Kriingggg.... “Halo Assalamu’alaikum” “Wa’alaikumsalam
pak, ini saya Resta.” “Oh iya ta, gimana? Sudah bicara dengan orangtuamu.?”
“Sudah pak, iya saya mau ambil beasiswanya.” “Oh iya ta, tapi itu SMA swasta
ya..” “Iya pak, nggapapa daripada ngga sekolah, hehe” “Yasudah kalo begitu
nanti bapak konfirmasi ke pihak sekolahnya.” “Iya pak Terimakasih..”
Selang beberapa jam setelah aku mengkonfirmasi ketersediaanku,
handphoneku berdering, “Halo Assalamu’alaikum” kataku. “Wa’alaikumsalam ta, ini
bapak sudah konfirmasi ke pihak sekolahnya dan dari pihak SMA sudah setuju.
Nanti kamu dapet full beasiswa mulai dari buku sampai seragam dari kelas 1-3
juga dapat biaya untuk asrama,” jelas pak Ali. “Oh iya terimakasih banyak ya
pak..” sahutku. “Iya ta, sama-sama. Besok pagi kamu ke SMA Pratiwi sama ibumu
ya.. untuk tanda tangan surat perjanjian” “Siap pak, yang harus dibawa apa saja
ya?” tanyaku. “Tidak usah bawa apa-apa, semua data sudah diambil dari datamu di
SMP” “Iya pak terimakasih banyak” jawabku.
Beberapa menit kemudian aku kembali menerima telfon dari pak Ali.
“Halo Assalamu’alaikum,” “Wa’alaikumsalam ta, ini ada tawaran beasiswa dari
SMK, tapi SMK baru.. katanya kamu ingin di SMK.”... Pak Ali menjelaskan bergitu
banyak hal tentang SMK tersebut. Dan akhirnya aku lebih memilih SMK daripada
SMA. Tentunya dengan pertimbangan kedua orangtuaku juga.
Aku merasa lega bisa mengurangi beban kedua orangtuaku. Walau tak
seberapa, tapi aku yakin mereka sangat bahagia. Darisini aku belajar bahwa ada
banyak jalan untuk meraih mimpi. Jalan itu tidak selalu sesuai dengan yang kamu
inginkan, dan tidak semulus yang kamu bayangkan. Tapi bukan menolak yang harus
kamu lakukan, tetap ikuti saja jalan itu dengan penuh keyakinan bahwa jalan
yang kamu lewati ini adalah jalan yang terbaik.
Hari ini, tiba saat penandatangan perjanjian. Aku ditemani ibuku
mendatangi SMK Kusuma sesuai dengan janji yang sudah dibuat sebelumnya.
Sesampainya disana sudah ada Pak Ali dan kepala sekolah SMK Kusuma yang
menyambut. Kami membicarakan banyak hal selama satu jam sampai akhirnya
penandatanganan perjanjian. Setelah selesai, pak Ali berkata kepadaku, “Resta,
bapak yakin kamu bisa menjaga nama baik keluarga dan nama baik bapak di sekolah
ini. Bapak minta kamu benar-benar serius supaya nanti kamu sukses, bapak juga
ikut senang. Dan bapak pesan, kamu jangan mikirin tentang lelaki dulu ya..”
“Iya pak, InshaAllah Resta inget pesan bapak” sahutku. Kemudian aku bergegas
untuk pulang.
Selang beberapa minggu, tiba saatnya aku menimba ilmu di SMK
Kusuma. Aku mencoba melakukan yang terbaik setiap harinya. Dan aku mencoba
untuk tidak menyukai satu pun lelaki dengan alasan tidak ingin ada yang
mengganggu tujuanku. Aku berhasil melakukannya, tapi tidak lama, hanya sekitar
6 bulan saja. Akhir semester pertama, seseorang berhasil merobohkan dinding
pembatasku. Dia adalah Rifa, teman sekelasku.
Sungguh, aku merasa sangat bimbang, bingung, gundah, resah,
bercampur menjadi satu. Aku telah gagal. Aku telah melanggar 1 nasehat
panutanku. Aku memang menjalani hari-hariku bersama Rifa. Tapi dalam hatiku
selalu diselimuti rasa bersalah. Dan aku tidak pernah bisa mengutarakan isi
hatiku yang sebenarnya, bahkan tulisan pun tak dapat mewakilinya. Aku tidak
mengerti kenapa dia tidak bisa memahami keadaanku, saat aku berkata “Aku tidak
bisa melanjutkannya, aku sudah melewati batas”, dia tak menjawab hanya diam
seribu bahasa. Aku tau itu menyakitkan, tapi tolong pahami lah posisiku. Ah
sudahlah, itu sudah berlalu. Toh aku tidak bisa menjelaskan semuanya saat itu.
Dan karena itu lah aku melakukannya berulang kali. Bukan karena aku tidak
menginginkan kehadiran Rifa, bukan pula karena aku ingin bersama orang lain.
Melainkan karena aku terus terjebak dengan rasa bersalah pada hal yang sama. Aku
tidak mengerti kenapa dia tetap tidak bisa memahami posisiku dan terus
menyalahkanku. Aku tidak paham dengan pola pikirnya. Dan dia juga tidak pernah
menjelaskan apa pun yang membuatku bisa memahami pola pikirnya.
Sampai akhirnya ketika kami berada pada jarak yang cukup jauh, aku
mendengar kabar bahwa dia bersama orang lain. “Resta, aku mau nunjukin sesuautu
ke kamu, tapi kamu jangan sedih ya..” ucap vero kepadaku. “Memangnya apa ingin
kamu tunjukan?”jawabku. Vero pun menunjukan screenshoot chattingnya dengan
wanita baru Rifa yang aku dengar namanya Sila.
Dia juga menunjukan foto-foto kebersamaan mereka. Terbayangkah bagaimana
perasaanku saat itu? Mungkin kalian pikir aku langsung percaya begitu saja
dengan orang asing? Tidak! Aku masih tidak mempercayai Rifa, karena aku
benar-benar percaya bahwa dia tidak akan tega melakukan hal seperti itu
kepadaku. Aku pun melanjutkan hariku tanpa peduli dengan ucapan Vero. Tapi
lama-kelamaan aku merasa sikap Rifa berubah kepadaku, yang membuatku mulai
curiga dan menghubungkan antara sikapnya dengan perkataan Vero yang membuatku memberanikan diri untuk langsung
menanyakannya. “Sayang? Siapa Sila?” tanyaku
“Teman baruku disini, kenapa?” jawab Rifa. “Apa kau punya hubungan
spesial dengannya? Ada orang yang memberitahuku” “Apa urusanmu? Bukankah kamu
sendiri yang meminta kita untuk tidak lagi bersama? Lalu kenapa kau menanyakan
hal seperti itu?” tegas Rifa. “Tapi aku
tidak pernah meminta kita untuk tidak bersama, kenapa kamu berkata seperti
itu?” “Amnesia ya?” “Tidak, aku sehat dan mengingat semuanya. Sekali lagi aku
tanya, apa kau punya hubungan spesial dengannya?”tanyaku kembali “Iya, aku sayang
Sila, aku cinta Sila”sahut Rifa.
Tahukah apa yang aku rasakan
saat itu? Bayangkan saja, orang yang sangat kamu percayai tiba-tiba mengatakan
hal seperti itu. Apa yang bisa aku lakukan selain menahannya? Menghiraukan
semua ego-ku dan berusaha agar dia tidak benar-benar pergi. Tapi apa yang
terjadi? Sepertinya usahaku sia-sia. Masih teringat dengan jelas saat dia
mengatakan “Aku tidak akan bisa sukses jika terus bersamamu”.
Yaaa,, untuk kali ini jangan bertanya bagaimana perasaanku,
bayangkan saja saat kekasihmu mengatakan hal seperti itu kepadamu. Sejujurnya
ketahuilah bahwa aku masih pada dilema yang sama. Aku sebenarnya tidak
menginginkan dia untuk benar-benar pergi, aku hanya ingin keluar dari dilema ku
ini. Tapi mungkin caraku saja yang salah, mungkin aku yang terlalu egois. Ingin keluar dari dilemaku, tapi tidak bisa
melepasnya untuk pergi. Ya.. aku bisa memahami posisinya, dan aku tau aku telah
menyakitinya. Jadi wajar saja kalau dia memilih bersama orang lain. Ups. Tidak!
Aku rasa lebih tepatnya dia hanya mencari pelampiasan atas rasa sakitnya itu.
Iyaa, iyaa aku paham. Tapi apa dia memikirkan perasaanku? Mungkin
kalian berfikir aku telah melukainya, telah melepasnya, sehingga dia bebas
melakukan apa saja. Tapi ketahuilah, ketika aku mendengarnya bersama orang lain
hati ini bagaikan..... tidak tidak, aku
tidak bisa menggambarkan perasaanku saat itu. Sungguh aku merasa semakin
terpuruk. Aku semakin bingung tentang hal apa yang harus aku lakukan.
Tangisanku pun tidak berhasil mengobati sedikitpun luka yang aku rasakan. Aku
pasrah, dan melewati beberapa hariku bersama luka.
Saat dia kembali, lagi-lagi aku tidak bisa menahan dinding
pembatasku. Lagi-lagi aku melanggar nasehat panutanku. Dan kembali pada rasa
bersalah yang sama. Kembali menjalani hari-hariku bersamanya.
Tidak terasa semuanya telah berjalan lebih dari 2 tahun. Dan aku
yang mengabaikan rasa bersalahku hanya demi bisa bersamanya, sebenarnya masih
dalam dilema yang sama. Hanya saja aku menutupi semuanya, dan seolah-olah aku
tidak apa-apa. Aku mau menerima semuanya, suka dan duka semuanya aku terima.
Walau terkadang aku sering marah, mengeluh, atau bahkan menangis. Sungguh aku
bukan manusia yang sempurna. Aku juga memiliki rasa lelah, apalagi jika
berkali-kali merasakan luka yang sama.
Ibarat bekas luka tembak yang setengah sembuh, namun tertembak
lagi, dan begitu berulang-ulang. Apakah sebanding dengan satu kali tembakan
yang sedikit lebih sakit dari sebelumnya? Mungkin jawabannya akan berbeda,
karena sudut pandang masing-masing orang juga berbeda.
Ketika kami berpisah tempat untuk waktu yang singkat, aku kecewa
dia tidak memberiku kabar. Bahkan tidak walau hanya sekedar menyapa “hai”.
Tunggu sebentar, aku rasa sudah dari sebelum kami berpisah tempat. Yaa, jauh
sebelumnya. Aku tau aku pernah memberinya luka yang sangat dalam, tapi sedalam
itu kah sampai dia mengabaikanku dan memilih bersama orang lain? Siapa dia?
Yaa... dia bilang dia temanya. Aku percaya dia temannya, dia juga temanku. Tapi
tetap saja, itu membuatku terluka. Iya aku paham dia telah menjelaskan
semuanya, mungkin aku yang salah. Aku yang berfikir terlalu jauh. Mungkin hanya
salah faham. Atau mungkin, aku tidak mengerti bagaimana ada di posisimu. Tapi
sayangnya semua itu hanya sekedar kemungkinan. Entah apa yang sebenarnya
terjadi.
Dan sayangnya, ada orang lain yang meminta bersamaku saat Rifa
mengabaikanku. Apa yang bisa aku lakukan? Ibarat seseorang sedang menangis
tersedu-sedu kemudian datang orang lain memberi tisu dan berusaha untuk
menghibur, apakah aku harus mengusirnya? Apa aku salah jika tetap membiarkannya?
Apakah ini membuat Rifa merasa tersakiti? Apa pantas jika Rifa menyalahkanku?
Baiklah, mungkin aku memang salah, mungkin
seharusnya aku mengusirnya. Tapi sungguh aku merasa Rifa tidak lagi peduli
denganku saat itu, dan di sisi lain ada seseorang yang ingin bersamaku. Aku tau
dia temanya, dan maaf aku tidak bisa mengusirnya saat itu.
Apa itu termasuk luka yang sangat dalam? Maaf, aku pun tidak akan
melakukannya jika saat itu Rifa mempedulikanku. Dan sekarang? Setelah aku sudah
masa bodoh dengan Rifa, dia datang dan memintaku untuk kembali. Bagaimana? “Aku
bukan taman hiburan sayang, kamu tidak bisa seenaknya datang dan pergi.”
Tapi lagi-lagi Rifa berhasil merobohkan dinding pertahananku, 2
tahun kenangan kami menghancurkan semua logikaku, membuatku berbelok dan
berfikir dari sudut pandang yang berbeda. Menerimanya kembali dan mengabaikan
semua yang pernah terjadi, memulainya dari awal dan mengubur semua luka yang
pernah ada. Tapi sayang, ketahuilah bahwa aku masih dalam dilema yang sama..
.End.
By Yana Damayanti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar